Sejarah Kelam Perjudian Legal di Indonesia: Antara Kebutuhan dan Kontroversi

Indonesia, sebuah negara yang kental dengan nilai-nilai religius, dikenal tegas melarang praktik perjudian. Namun, sedikit yang tahu bahwa larangan ini tidak selalu mutlak. Sejarah mencatat babak-babak di mana ada status perjudian legal, bahkan difasilitasi oleh negara. Perjalanan ini mengungkap tarik-ulur abadi antara godaan ekonomi, gejolak moral, dan dinamika sosial-politik yang membentuk wajah bangsa.

Era Kolonial: Untung di Balik Dosa

Jauh sebelum Indonesia merdeka, judi sudah jadi pemandangan lumrah, terutama di pusat-pusat dagang. VOC dan pemerintahan kolonial Belanda tak sepenuhnya mengharamkan, malah cenderung mengatur, terutama judi yang dimainkan etnis Tionghoa. Alasannya klasik: potensi pajak yang menggiurkan.

Batavia di abad ke-17 adalah sarang rumah judi. Uniknya, pendapatan dari sewa rumah judi bahkan sempat jadi pemasukan terbesar kedua VOC, melebihi sewa pasar. Belanda memang pragmatis; mereka tak ambil pusing soal moral, asal kantong penuh. Regulasi pun diterapkan, seperti jam operasional atau larangan bagi pribumi dan Eropa tertentu, bukan untuk memberantas, tapi demi kontrol dan profit.

Awal Kemerdekaan dan Orde Lama: Dana Darurat Bernama Undian

Setelah proklamasi, larangan judi belum merata. Beberapa daerah masih membiarkannya berjalan. Memasuki era 1960-an, di tengah krisis ekonomi, pemerintah melirik “undian berhadiah” sebagai cara cepat meraup dana untuk program sosial.
Horeg88
Horeg88

Yayasan Rehabilitasi Sosial pada era itu secara legal mengeluarkan undian berhadiah dengan nilai fantastis. Dana dari undian bulanan itu konon dialokasikan untuk tujuan mulia. Namun, ini juga memicu munculnya “Lotere Buntut”, judi ilegal yang memanfaatkan hasil undian resmi, dan merasuki lapisan masyarakat bawah.

Orde Baru: Puncak Legalitas dan Badai Kecaman

Periode Orde Baru jadi saksi bisu perjudian  legal yang paling mencolok, terutama saat Ali Sadikin memimpin Jakarta di akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Dengan anggaran daerah yang cekak, Ali Sadikin mengambil keputusan kontroversial: melegalkan perjudian. Kasino seperti Copacabana di Ancol dibuka, undian Lotto pun diluncurkan.

Keputusan ini sontak panen cibiran. Ali Sadikin dicap “Gubernur Judi” atau “Gubernur Maksiat” oleh para agamawan. Tapi dia tak goyah, berdalih bahwa pajak dari judi akan membiayai pembangunan sekolah, puskesmas, dan pasar yang sangat dibutuhkan Jakarta. Tak bisa dipungkiri, anggaran pembangunan DKI memang melonjak drastis berkat pemasukan ini.

Namun, legalisasi ini tak abadi. Tekanan masyarakat dan tokoh agama makin menguat. Hingga akhirnya, pada 1974, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian, yang secara resmi melarang segala bentuk perjudian di Indonesia. Meski begitu, efeknya baru terasa penuh pada 31 Maret 1981, saat kasino-kasino tutup permanen.

Meski dilarang, “roh” mencari dana via undian belum mati. Pemerintah mencoba mengemas ulang perjudian dalam bungkus “sosial”:

  • Kupon Sumbangan Sosial Berhadiah (KSSB): Hadir sejak 1979, namun tak bertahan lama.
  • Pekan Olahraga dan Ketangkasan (PORKAS): Diluncurkan 1985 untuk dana olahraga.
  • Sumbangan Dana Sosial Berhadiah (SDSB): Pengganti KSSB dan Porkas di akhir 1980-an. SDSB meledak popularitasnya dan jadi sangat kontroversial. Meski disebut “sumbangan”, masyarakat memainkannya sebagai judi murni. Protes masif, terutama dari kelompok agama, memaksa pencabutan SDSB pada 1993.

Pasca-SDSB hingga Kini: Dari Judi Darat ke Judi Online

Sejak SDSB tamat, tak ada lagi perjudian yang terang-terangan dilegalkan di Indonesia. UU No. 7 Tahun 1974 jadi payung hukum utama, diperkuat Pasal 303 dan 303 bis KUHP yang menjerat pelaku judi.

Tapi, larangan legal tak berarti judi hilang. Praktik ilegal terus bergeliat, dari judi konvensional hingga fenomena judi online yang merajalela di era digital. UU ITE kini juga jadi alat untuk memberantasnya.

Wacana melegalkan kasino sesekali mencuat lagi, biasanya dengan argumen cuan negara. Namun, wacana ini selalu ditolak mentah-mentah, mengingat dampak sosial dan nilai-nilai fundamental bangsa yang dipertaruhkan.

Refleksi Sejarah

Sejarah legalitas judi di Indonesia adalah bukti bahwa keuntungan finansial jangka pendek seringkali tak sebanding dengan biaya sosial dan moral yang harus dibayar. Pengalaman pahit di masa lalu menegaskan komitmen Indonesia saat ini: menjaga nilai-nilai luhur dan melindungi masyarakat dari dampak destruktif perjudian.